Selamat Datang di Palangka Raya

Malahuy adalah sebuah desa yang punya rumah adat Dayak yang dilindungi oleh negara, Betang Toyoi. Desa ini terbagi menjadi 2 wilayah: Malahuy Datah dan Malahuy Bukit. Rumah keluarga Er yang baru dibangun berada di Malahuy Bukit, berdekatan dengan pekamanan Kaharingan, tepat di pinggir jalan raya yang belum diaspal.

Rumah yang dibangun di jalan raya seperti itu sangatlah tidak ramah. Kendaraan lalu lalang berisik dan pasti menghamburkan debu. Konsekuensinya, atap rumah mereka memiliki corak yang mirip debu tanah merah. Dulunya daerah itu adalah hutan lebat yang ditumbuhi oleh pohon rambay, rumbia, dan karet. Karena alasan untuk perkembangan, pemerintah membuatkan jalan menggunakan traktor.

Sebelum pindah ke rumah milik mereka sendiri, keluarga Er menumpang di rumah milik keluarga Junjung. Mereka diizinkan menempati rumah itu secara cuma-cuma. Ketika ada dana, Hen membeli sebidang tanah dengan harga 1 juta. Nilai yang lumayan mahal untuk saat itu. Mereka mendapat bantuan dari pemerintah berupa bahan bangunan.

Sabel memanfaatkan kemampuan bertukangnya yang pas-pasan untuk membangun sebuah rumah, seorang diri. Ukuran rumah itu kelewat besar dan tidak punya batas yang jelas antara ruang tamu, kamar tidur, dan dapur. Permasalahan terbesar di rumah itu adalah: tidak ada toilet. Mereka membuang hajat dan mandi di sungai. Untungnya, air minum diperoleh dari Mata Air Tanteli.

Hari itu Selasa, 17 Juni. Perahu-perahu kelotok masih tertambat. Ayam-ayam masih tidur pulas di pepohonan. Jalanan masih becek. Aliran Sungai Baringey masih tenang. Er bangun mendahului semuanya. Dia mandi di sungai dan mengucapkan sampai jumpa kepada pemandian itu. Semua pakaian terbaiknya telah dikemas ke dalam tas kesayangan. Tas mungil yang menampung segala macam keperluan besar saat nanti tiba di kota. Beberapa helai kaos oblong, celana jins, cawat, dan celana pendek. Semuanya dibeli dari hasil menyadap getah karet. Dia membawa uang 175 ribu yang disisihkan oleh Ibunya untuk keperluan genting saja.

Er berlari ke rumah gurunya di Malahuy Datah melalui jembatan yang berdiri tegak di atas Sungai Baringey. Patung-patung sapundu seolah mengucapkan sampai jumpa. Pepohonan melambai-lambai seolah mengucapkan selamat jalan. Mobil yang akan membawanya ke kota sudah menunggu di rumah gurunya, Ibu Medub. Ibunya sambil menggendong adiknya dan juga ayahnya menyusul dengan berjalan kaki. Mereka akan mengadakan perpisahan. Adiknya, Tan, waktu itu masih bayi yang baru bisa berjalan dan bicara terbata-bata dan sedang sayang-sayangnya kepada Er. Kemanapun Er pergi, Tan selalu mau ikut. Tan akan mengamuk kalau tidak dibawa.

Perpisahan itu membuat risau jiwa Er. Tan menangis sejadi-jadinya karena mau ikut. Hen berlinang air mata. Air matanya jernih, mulia, dan tulus. Sementara itu, Sabel tidak mengubah air mukanya sebab pria ogah menangis di hadapan umum. Sabel pernah meneteskan air mata saat Hen akan Pergi untuk Selamanya, tapi itu masih lama. Air mata Tan merupakan tanda kerinduan yang begitu besar bagi Er.

Pertanyaan yang paling mendasar bagi Er adalah: siapa yang akan menampungnya nanti di kota? apakah benar tokoh agama kenamaan itu? Er ingat betul saat bertemu tokoh tersebut ketika mengikuti festival tandak. Menurutnya orang itu baik, kaya raya, dan punya asisten. Er juga mengenal istrinya. Menurutnya wanita itu murah hati. Dia pernah diberi uang beberapa kali saat festival tandak.

Festival tandak adalah acara besar umat Kaharingan yang memperlombakan berbagai kajian keagamaan. Er rutin mengikuti festival tandak dan mendapat banyak penghargaan yang ditandai dengan piala dan piagam. Menurut janji manis Ibu Medub, dia akan tinggal bersama tokoh itu, Drs. Manyamey dan istrinya yang gempal dan murah hati itu. Er membayangkan tinggal bersama mereka akan menyenangkan. Dia akan diperlakukan seperti anak mereka sendiri, diantar dan dijemput sekolah menggunakan mobil, dan diberi jajan. Bayangan itu berbanding terbalik dengan keadaannya di Malahuy. Bayangan yang kelewat batas.

Sebenarnya Er sudah sering ke Palangka sebelumnya. Saat balita, dia pernah tinggal bersama bibinya. Hen menitipkan Er kepada saudari kandungnya, Luya, karena masalah keluarga. Kali ini perjalanan Er memberikan kesan berbeda. Dia akan berpisah dalam waktu yang lama dengan keluarganya, khususnya Tan. Dia tidak bisa memeluk adiknya dan membuatnya cekikikan atau meredam tangisannya. Mereka tidak akan lagi memancing di pinggir gosong dan mandi di sungai. Suatu hari mereka akan bertemu dalam keadaan berbeda, di mana Tan bukan lagi anak kecil yang bisa digendong seperti bayi.

Er diawasi Sahur Parapah sepanjang perjalanan. Dia menyaksikan jalan mulus beraspal, patung-patung hias, lampu warna-warni, jembatan megah, dan gedung-gedung bertingkat. Selamat datang di Palangka! Inilah waktunya Semesta mengajarkan Er untuk Berdiri Sendiri. Dia tidak bisa menggelayut lagi di leher Ibunya.

Sorot mata Er kelihatan payah. Mereka tiba di malam hari. Dia harus menyesuaikan diri dengan hawa yang baru. Tidur tanpa kelambu, tanpa omelan Ibu, tanpa ocehan Tan, dan tanpa kokok ayam. Dia harus menyesuaikan diri dengan toilet dan kamar mandi, kompor gas, komputer, dan Perasaan. Dia benar-benar sendiri, menunggu dicampakkan ke suatu tempat.

Mereka tiba di rumah anak tertua Ibu Medub, Kameluh. Kameluh berprofesi sebagai guru sekolah dasar, yang secara harafiyah berarti bahwa dia adalah orang bermartabat dan berpendidikan. Er tidak punya pendapat tentang alasan mengapa mereka harus menginap di situ. Bukankah dia harusnya diantar ke rumah orang yang mau mengasuhnya? Mungkin sudah terlalu malam. Jadi, besok saja.

Hari kedua, semua berjalan baik-baik saja. Er diberi makanan enak, disuruh mencuci piring, membereskan dapur, dan menyapu. Dia diizinkan untuk tidur siang dan mandi di kamar mandi. Perlakuan yang cukup adil. Saat makan bersama, dia sering mendapat pujian lantaran dia adalah anak yang baik, patut menjadi teladan bagi anak-anak lain. Di rumah itu, Kameluh tidak tinggal sendirian. Dia sudah bersuami. Selain itu, ternyata ada suami Ibu Medub dan anak ketiganya, Kena, yang ikut menginap. Istri Kena sedang dirawat di rumah sakit karena keracunan kehamilan.

Hari ketiga, Er mengetahui bahwa Ibu Medub punya rencana lain. Dia meminta Er untuk menemani istri Kena di rumah sakit. “Tenang saja, setelah ini kamu akan segera diantar ke rumah Pak Manyamey.” Jelas Ibu Medub. Er tidak punya pilihan apa pun selain menurut. Tugasnya hanya menemani, tidak lebih. Dia hanya akan duduk diam dan menemani istri Kena bicara-bicara kecil dan mengambilkan air minum. Dia mendapat jatah makanan enak. Makanan lezat dan bergizi yang disajikan oleh rumah sakit akan selalu dilimpahkan kepadanya kalau tidak dimakan oleh istri Kena.

Tiap kali makan makanan enak, dia selalu mengingat Tan. Andai Tan bersamanya sekarang, mereka akan tersenyum bersama sambil makan makanan enak dan melihat keramaian Palangka. Tetapi Tan berada jauh di Malahuy, entah apa yang dia makan hari itu, apakah dia masih menangis karena ingin bertemu Er? Er menyimpan harapan untuk bertemu Tan suatu hari nanti dalam keadaan sejahtera, sehingga mereka bisa tersenyum bersama.

Er mendapat tugas sederhana di rumah sakit: menemani. Tugas itu secara tidak langsung memberikan pengalaman pertama baginya untuk mengenal rumah sakit: tabung oksigen, ranjang, kamar jenazah, dokter dan perawat yang lalu lalang, bau obat-obatan, dan juga kucing liar yang berkeliaran. Dia juga mengenal istilah baru dalam dunia biologi, nifas, yang berarti melahirkan.

Er tinggal di rumah sakit selama beberapa hari, hingga akhirnya istri Kena dinyatakan pulih setelah kandungannya tidak dapat diselamatkan. Er kembali ke rumah Kameluh untuk yang kedua kalinya. Kali ini dia masih sungkan untuk menanyakan kelanjutan statusnya―dan dia akan sungkan sampai kapan pun.

Hari selanjutnya, Er diajak menangkap ikan di bagian seberang Palangka. Inilah hari pertamanya melewati Jembatan Kahayan yang megah dengan lampunya yang warna-warni. Pengalaman pertama itu membuat adrenalinnya berpacu. Dia menjadi waspada kalau-kalau pegangannya lepas ketika berada di atas sepeda motor yang melaju kencang.

Mereka menangkap ikan di Danau Lais. Sejatinya tidak ada danau di tempat itu, melainkan sungai. Er bertugas membawa karung dan jala. Inilah pengalaman pertamanya melihat tangkapan ikan sekarung penuh.