Rumah Kenangan

Er menatap langit-langit rumah mereka sambil melamun di atas kasur kusutnya. Ada banyak jaring laba-laba di sana-sini. Jaring-jaring itu agak sulit dijangkau karena terlalu tinggi, sehingga dia punya alasan untuk tidak menyingkirkannya dalam waktu dekat, walau Ibunya bergumam tiap hari.

Rumah keluarga Er terletak persis di pinggir jalan raya yang belum diaspal. Ketika musim kemarau, rumah mereka berdebu hingga ke bagian dalam. Pasalnya, kendaraan lalu-lalang menghamburkan debu.

Rumah itu bisa dibangun berkat bantuan pemerintah. Sabel menerima bantuan bahan-bahan bangunan berupa papan dan balok. Ibunya Er membeli sebidang tanah dari keluarga Indu Kokon. Sabel punya keterampilan bertukang yang kurang mumpuni, tetapi dia tidak punya pilihan selain membangun rumah itu sendiri.

Desain rumah itu terkesan sembarangan. Posisi jendelanya tidak simetris. Masing-masing jendela punya ukurannya sendiri dan letak jendela yang satu lebih tinggi dari yang lain. Daun pintu harus sedikit diangkat ketika dibuka atau ditutup—dan selalu mengeluarkan suara berisik! Karena berbentuk rumah panggung, lantainya selalu menggelegar ketika ada yang berjalan.

Ukurannya 60 meter persegi, terlampau besar untuk keluarga kecil beranggota empat orang. Tidak ada batas yang jelas antara ruang tamu, kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur. Ketika tamu masuk ke rumah itu, artinya tamu telah memasuki keseluruhan bagian rumah.

Er punya masalah besar di rumah itu—tidak ada toilet! Dia harus bersusah payah ke sungai kalau ingin buang air besar. Meski begitu, dia terbiasa melakukannya, bahkan pergi sendirian di tengah malam!

Panggitang merupakan bagian esensial rumah itu. Panggitang adalah tempat memasak menggunakan kayu bakar. Panggitang dibuat dari tanah liat yang ditaruh di atas sebidang wadah persegi panjang. Kayu bakar ditata di atas rak pada bagian atasnya agar selalu kering.

Tiap ada kesempatan, Er menjelajah hutan untuk mencari dahan-dahan pohon karet yang rapuh untuk kayu bakar. Sebagai hiburan, dia juga mencari tumbuhan hias liar yang bergelayut di pepohonan. Dia akan berlama-lama di hutan jika sedang musim buah. Dia punya hubungan yang mesra dengan hutan.

Setiap pagi, ayah Er, Sabel, merebus air di atas panggitang untuk membuat kopi. Dia duduk menghadap panggitang yang membara sambil menghangatkan tubuhnya. Ibu Er nyaris tidak pernah bangun pagi, boro-boro membuatkan kopi. Sang Ibu punya kedudukan tertinggi di rumah itu.

Jerigen-jerigen air minum disusun berjejer di atas rak kayu yang menempel permanen di dinding. Air minum diambil langsung dari Mata Air Tanteli, satu-satunya mata air yang mengalir sepanjang tahun di Malahuy Bukit. Airnya sangat jernih dan segar.

Kalau jerigen-jerigen itu kosong, Er membawanya ke mata air. Dia harus berjalan kaki melewati jalan setapak di tengah hutan. Jaraknya sekitar 15 menit. Di tengah perjalanan, ada sebuah tempat keramat yang disebut Pasah Patahu. Tempat itu dikeramatkan oleh orang Ngaju, terutama oleh orang Kaharingan. Er harus melewatinya dengan menunjukkan rasa hormat.

Mata Air Tanteli mengalir dari kaki bukit landai yang terletak di tengah hutan hujan tropis. Airnya dialirkan dengan bambu yang dibuat seperti corong, sehingga memudahkan orang-orang mengisi jerigen.

Sambil menunggu jerigennya terisi penuh, Er biasanya menangkap ikan sambaling—sejenis ikan cupang—yang ada di telaga. Kalau beruntung, ia bisa mendapat ikan lele sungai yang bersembunyi di balik lumpur.

Ketika ada waktu luang ekstra, Er akan menyisihkan waktunya untuk membereskan pakaian-pakaian bekas yang diletakkan sembrono di baskom dan keranjang, dan yang digantung di sana-sini.

Keluarga Sabel selalu tidur menggunakan kelambu yang hanya digantung menjelang tidur. Keempat ujung kelambu diikatkan dengan tali. Mereka tidak punya ranjang. Kasur diletakkan langsung di lantai dan digulung kalau pagi tiba. Kasurnya cukup untuk menampung empat orang.

Semenjak Er masuk SMP, dia memisahkan diri dari kasur orang tua dan adiknya. Dia mendapat kasur dan kelambunya sendiri.

Suatu hari, Er harus meninggalkan rumah masa kecilnya itu. Seperti anak seekor burung yang pergi meninggalkan sarang induknya, Er tidak punya rencana untuk kembali karena dia akan membangun sarangnya sendiri.