Kopi Pagi
Apapun yang terjadi, sebaiknya segera dimulai. Kalau akan kiamat, mari sambut kiamat itu dan hidup berdampingan dengannya, membiarkannya berlalu, dan kita mulai dengan jiwa yang baharu.
Harinya sedang hujan ringan. Menurut rencana, harusnya pagi-pagi ini lari menyusuri jalan raya sejauh tiga kilometer dari rumah dan tiga kilometer lagi kembali ke rumah. Karena sedang hujan ringan, ritual itu harus ditunda sampai sore tiba. Kalau sore tetap hujan, ritual ditunda sampai besok pagi tiba.
Er sedang ingin minum kopi panas yang manis, semanis senyumannya. Sayang kopinya habis, sementara gula harganya naik lima puluh persen. Tapi ia sangat ingin meminumnya.
Jas hujan ditaruh di jok sepeda motor Beat hitam keluaran tahun dua ribu tujuh belas, yang cicilannya masih empat kali lagi. Sebagai informasi, ia tidak mau telat membayar cicilannya sebab pikirnya nama baik harus terpelihara di data perusahaan perutangan.
Segeralah ia memeriksa dompetnya, mengambil selembar uang yang baru saja ditarik dari mesin anjungan tunai mandiri yang terkurung dalam sebuah minimarket lokal di Jalan Seth Adji—itu adalah mesin terdekat untuk mengambil uang. Baru saja ia mau berangkat, kandung kemihnya penuh dan perlu waktu sebentar barang untuk pergi ke tempat pembuangan akhir cairan tubuh dan berbagai kotoran lainnya. Perjalanan ke warung untuk membeli kopi dan gula sedikit tertunda.
Er. Nama singkat yang unik, hanya terdiri dari satu kata. Walau begitu, tak seorang pun di sekolah, kampus, dan tempat kerja yang punya nama mirip sesederhana itu. Er tidak punya makna tertentu. Anak-anak lelaki lainnya diberi nama dengan makna menakjubkan. Ahmad atau Muhammad supaya punya kepribadian yang mirip dengan nabi. Mikail supaya seperti malaikat. Adam, Abraham, Yusuf, Yoshua, Imanuel. Tapi Er hanyalah sebuah nama. Benar-benar sebuah nama yang murni, tanpa harapan indah apa-apa. Hanya nama singkat yang unik. Er.
Sesampai di Warung Bu Nor, dimulailah resepsi pencarian kopi. Kriterianya adalah isinya cukup banyak dengan harga murah dan yang ada hadiah gelas tampan, kalau ada. Kopi yang memenuhi kriteria itu didapat, walau tidak mendapat bonus gelas seperti yang dibayangkan. Gula sedang langka, jadi tidak ada pilihan. Untungnya, Bu Nor mau menjual gulanya dengan ukuran setengah kilogram. Berdasarkan Kode Etik Belanja di Warung, jangan menerima kresek plastik untuk menampung belian. Kalau mau, bawa kresek plastik atau wadah apapun dari rumah. Ini merupakan salah satu bagian Pembaharuan Hidup.
Beginilah resep kopi manis yang enak: kira-kira dua ratus lima puluh mililiter air panas yang baru saja mendidih, disiram ke sesendok makan kopi. Kalau airnya kurang panas, kopinya akan menggumpal sehingga ampasnya naik ke permukaan. Barangkali ada yang bertanya, “Apakah pakai gelas?” Ya tentu saja pakai gelas yang tahan panas, disarankan gelas porselin. Lalu tambahkan kira-kira tiga sendok makan gula (tanpa) pasir. Dan, marilah diaduk. Silakan seruput selagi panas. Begitulah instruksi profesional untuk membuat kopi manis yang enak.
Pembaharuan Hidup tersedia. Bebas untuk pindah ke versi baru atau mau tetap nyaman dengan versi yang sama. Er berencana untuk memperbaharui versi dirinya secara penuh. Pembaharuan dalam dirinya adalah olahraga rutin, menulis, membaca, mendengar siniar, mendengar musik secara sah di iTunes dan Spotify, menerbitkan tulisan-tulisan di blog, dan menolak kresek plastik saat belanja di warung. Ditinggalnyalah kebiasaan lama: menatap ponsel pintar terlalu lama, menonton YouTube terlalu lama, bergurau di WhatsApp, juga penerbitan keluhan-keluhan di media sosial yang sejatinya salah arah. Jadi, Er tidak ingin menggunakan kode sumber kebiasaan yang sama dengan yang seusianya.